Menelusur Jejak Petinggi Kolonialis Lewat Batu Nisan di Museum Taman Prasasti
Apa kesan orang umumnya saat pertama kali tahu tentang Museum taman prasasti yang terletak di Jalan tanah abang 1, Jakarta pusat? Bisa jadi angker atau aneh, tak salah memang karena koleksi benda-benda yang dimiliki oleh Museum taman prasasti adalah batu nisan dengan jumlah ribuan. Dibilang angker mungkin saja, berhubung museum ini memang berdiri di lahan pemakaman kuno yang dulu namanya Kebon Jahe Kober.
Tak seperti museum lain yang menyimpan benda-benda koleksinya di dalam ruangan. Museum taman prasasti adalah museum terbuka diatas tanah lapang seluas 1,2 hektar. Hanya pepohonan rindang dan semilir angin yang membuat Museum taman prasasti tetap terasa sejuk, hijau namun terasa sunyi dan menakutkan bagi beberapa orang. Tiket masuk yang harus dibayar paling mahal cuma 5 ribu rupiah untuk orang dewasa.
Bagi para pecinta sejarah, tentunya Museum taman prasasti bukanlah tempat yang harus ditakuti. Namun justru seperti potongan waktu yang menghubungkan berbagai macam peristiwa di masa lalu. Mulai dari jaman penjajahan Belanda, Jepang hingga kemerdekaan. Karena di Museum taman prasasti terdapat beragam batu nisan dari berbagai orang-orang kolonialis penting yang pernah singgah di Batavia ataupun daerah lainnya di Indonesia.
Sebelum diresmikan menjadi Museum taman prasasti pada tahun 1977 oleh Gubernur Ali sadikin, lahan ini menjadi tempat pemakaman bagi orang-orang Belanda yang dinamakan Kerkhoflaan. Keberadaan Kerkhoflaan ini juga awalnya tanpa direncanakan. Bermula pada tahun 1795, terdapat wabah misterius yang membuat banyak korban wafat dari pihak Belanda.
Karena banyaknya korban meninggal sementara lahan pemakaman yang berada dalam tembok Batavia (sekitar Kota tua) sudah tak cukup lagi maka dibuatlah lahan pemakaman baru. Sebidang tanah yang berada diluar tembok Batavia namun dekat dengan aliran Kali Krukut ini pun dipilih sebagai tempat pemakaman baru. Adanya Kali krukut dinilai sangat bermanfaat karena dapat digunakan sebagai sarana mengangkut jenasah beserta pengiringnya sebelum dilanjutkan dengan menggunakan kereta kuda.
Pada jaman kolonialisme Belanda, pemakaman yang berada di dalam tembok Batavia berlokasi di dekat Gereja yang sekarang dijadikan sebagai Museum wayang. Namun pada awal abad ke-19, jenasah-jenasah yang berada dalam tembok Batavia mulai dipindahkan ke Kerkhoflaan Kebon jahe kober. Hal ini sesuai dengan perintah Gubernur Daendels yang melarang menguburkan mayat di dekat Gereja ataupun lahan pribadi. Di Museum taman prasasti, dapat ditemukan kode HK (Holandsche Kerk/Gereja Lama Belanda) pada batu nisan yang berarti pindahan dari pemakaman yang berada dekat Gereja Lama di dalam tembok Batavia.
Sampai dengan 2 (dua) tahun sebelum diresmikan menjadi Museum taman prasasti, pemakaman Kebon jahe kober masih aktif digunakan sebagai lahan penguburan. Tetapi dalam selang waktu 2 (dua) tahun sebelum diresmikan, jenasah orang-orang yang ada di pemakaman Kebon jahe kober mulai dipindahkan ke berbagai tempat pemakaman lainnya.
Selain menjadi tempat untuk mempelajari sejarah Batavia dan Indonesia, Museum taman prasasti juga menjadi galeri seni keindahan karya ukiran patung dan nisan dari para seniman batu nisan. Karena pada jaman dahulu, batu nisan dibuat disesuaikan dengan identitas orang yang dimakamkan. Dengan demikian bentuknya bisa bermacam-macam.
Kembali ke judul diatas, Museum taman prasasti yang memiliki lebih dari 1.300 batu nisan menyimpan banyak kijing dari orang-orang penting pada masa Kolonialisme. Beberapa batu nisan yang dapat kita lihat yaitu milik Olivia Marianne Raffles (istri gubernur jendral Thomas Stamford Raffles), Dr. H.F. Roll (pendiri sekolah STOVIA, sekolah kedokteran cikal bakal UI), hingga Soe Hok Gie (aktivis pergerakan mahasiswa tahun 1966).
Diantara batu nisan dari orang-orang Eropa yang ada di Museum taman prasasti terdapat sebuah makam misterius milik Kapitan Jas. Tidak diketahui dengan pasti profil Kapitan Jas tersebut. Dan juga awal mula dari kepercayaan yang timbul bahwa makam milik Kapitan Jas dapat mendatangkan kemakmuran dan kesuburan bagi mereka yang berziarah ke tempat tersebut.
Selain menyimpan benda-benda bersejarah dari kematian tokoh-tokoh penting kaum kolonialis, Museum taman prasasti juga menyimpan 2 (dua) benda penting dari peristiwa wafatnya pendiri bangsa Indonesia, yaitu peti mati yang pernah digunakan untuk membaringkan jenasah Soekarno dan Moh. Hatta. Peti milik kedua Bapak bangsa tersebut disimpan dalam sebuah kotak kaca disertai dengan tulisan singkat saat-saat dimana kedua proklamator tersebut wafat dan dimakamkan.
Mempelajari sejarah terkadang bisa sangat membosankan bila dilakukan di dalam kelas ataupun dengan membaca buku literatur. Namun, Museum taman prasasti mampu menghadirkan cara baru yang unik dan menarik untuk mengetahui sejarah panjang kota Jakarta dan negara Indonesia. Oleh karena itu jangan lupa datang ke Museum taman prasasti yang buka setiap hari Selasa – Minggu mulai dari jam 09.00 – 15.00 ya.
0 komentar:
Posting Komentar