Nama tempat ini memang mengingatkan pada sebuah gunung yang berada di provinsi Jawa timur. Tapi bukan itu yang akan dibahas dalam tulisan ini. Melainkan sebuah candi yang terletak di pulau Dewata, Bali. Yang memang kebetulan punya nama sama.

Umumnya sebuah candi dibentuk dari tumpukan batu. Namun berbeda dengan candi Gunung kawi yang berupa sebuah pahatan di tebing batu. Yang mana sesuai dengan namanya, Gunung yang berarti gunung dan Kawi berarti pahatan.

Candi gunung Kawi terletak di kabupaten Gianyar. Jaraknya dari Denpasar terpisah sejauh 40 km yang dapat ditempuh selama kurang lebih 1 jam perjalanan. Lokasinya berada di sebuah perbukitan yang dibelah oleh sungai Pakerisan dan membagi wilayah candi Gunung kawi menjadi 3 bagian.
Bagian pertama, di sebelah timur sungai Pakerisan terdapat 5 buah candi yang didedikasikan untuk raja Udayana. Sedangkan bagian kedua di sebelah barat, terdapat 4 buah candi yang dipersembahkan untuk selir dari raja Udayana yang berjumlah 4 orang. Di bagian ketiga, terdapat 1 buah candi yang dibangun untuk salah seorang pejabat tinggi kerajaan setingkat perdana menteri atau penasehat raja.

Sejarah candi Gunung kawi memang tidak bisa dilepaskan dari raja Udayana, sang penguasa pulau Bali. Bahkan tujuan dibangunnya candi gunung Kawi oleh anak kedua raja Udayana yaitu Marakata adalah sebagai tempat pemujaan terhadap ayahnya yang konon disemayamkan di sungai Pakerisan.

Salah satu bukti yang menerangkan candi Gunung kawi sebagai tempat pemujaan terhadap raja Udayana adalah tulisan beraksara Kadiri yang berbunyi “Haji Lumah in Jalu” yang terdapat pada pintu gerbang candi. Makna dari tulisan tersebut berarti Sang Raja dimakamkan di Jalu. Kata Jalu merujuk pada pengertian taji (senjata pada kaki ayam) yang dapat diasosiasikan dengan keris (sungai Pakerisan).
Untuk menuju dan keluar dari lokasi pusat candi Gunung kawi diperlukan sedikit kekuatan fisik karena harus turun dan kemudian naik 315 anak tangga. Tetapi untungnya, suasana alam di candi Gunung kawi sangat hijau dan sejuk sehingga membuat nafas sedikit lega meski kaki sedikit lemas.
Wisata susur sungai dengan menggunakan perahu karet atau yang biasa disebut rafting beberapa waktu lalu memang menjadi favorit banyak orang. Namun perlahan-lahan, wisata tubing atau susur sungai dengan menggunakan ban mulai mendapatkan tempat di hati wisatawan. Walaupun antara rafting dan tubing tak bisa disamakan. Karena dalam tubing, arus sungai yang menemani tak sederas wisata rafting namun tetap dapat memantik keseruan.

Salah satu daerah yang menjadi destinasi favorit untuk wisata tubing adalah kabupaten Gunung kidul yang ada di provinsi Yogyakarta. Anehnya, Gunung kidul justru dikenal sebagai daerah yang tandus karena kondisi alamnya yang berupa perbukitan kapur. Tetapi siapa sangka, justru dibalik kerasnya perbukitan kapur tersebut banyak mengalir sungai bawah tanah. Bukan hanya sekedar tubing di sungai jadinya. Tapi tubing menyusuri sungai yang mengalir di dalam goa. Jadilah namanya : Cave tubing!
Tak diragukan jika orang-orang selama ini lebih mengenal goa Pindul sebagai destinasi wisata cave tubing di Gunung kidul. Karena memang nama depannya sudah menyertakan kata “Goa”. Padahal Gunung kidul punya destinasi wisata cave tubing lain yang tak kalah seru. Namanya Kalisuci, dibuka sejak tahun 2009 dan lokasinya tak jauh dari goa Pindul.
Sepintas orang memang akan tidak tahu kalau tubing di Kalisuci juga menyusuri goa. Karena memang tidak ada kata "Goa" di depannya. Padahal jarak sungai yang disusuri lebih panjang daripada goa Pindul dan lebih menantang dengan melewati 2 buah goa yang memiliki 2 karakter berbeda. Goa pertama bertipe horisontal dan yang kedua vertikal (luweng).

Setiap wisatawan yang datang akan dikenakan biaya sebesar 70 ribu rupiah. Didalamnya sudah termasuk sewa ban, jaket pelampung, helm, alat pelindung tulang kering dan siku. Pengunjung yang sudah mendaftar tidak akan langsung menuju sungai untuk segera tubing. Tetapi akan dibagi dalam kelompok-kelompok berjumlah 10 -15 orang dan ditemani oleh 3-4 petugas yang akan menemani dan menjelaskan segala sesuatu tentang Kalisuci dan goa yang dilalui.
Ketika kuota kelompok sudah terpenuhi, maka semuanya akan berjalan bersama turun menuju sungai yang jaraknya kurang lebih 100 meter dari tempat pendaftaran. Sebelum “nyemplung”, pengunjung akan diberikan penjelasan terlebih dahulu mengenai prosedur tubing. Terutama bagaimana cara mengangkat badan dengan menggunakan siku agar pantat tidak menabrak batu karang.
Wisatawan yang tidak bisa berenang tak perlu khawatir karena para petugas yang menemani selalu sigap dalam menolong. Lagipula badan kita pun sudah dilindungi oleh jaket pelampung sehingga tak perlu khawatir tenggelam. Dan arus sungai yang dihadapi pun juga tak terlalu deras. Jadi tak perlu panik atau takut sebelumnya.
Keadaan di dalam goa yang dilewati dalam wisata cave tubing di Kalisuci sangat gelap dan satu-satunya sumber cahaya hanya ada pada lampu senter yang menempel pada helm petugas yang menemani. Meski gelap, pengunjung tak perlu takut karena di Kalisuci tidak ada buaya ataupun binatang buas lainnya. Ular? iya ada, sesekali dijumpai antara bulan Juli dan Agustus saat musim kemarau dan udara panas. Tapi belum pernah dijumpai kasus ular menggigit pengunjung di Kalisuci.
Sehingga pengunjung dapat dengan tenang dan senang menikmati arus sungai yang mengombang-ambingkan tubuh kita ke kanan dan ke kiri sambil sesekali menabrak batu karang. Saat air sungai sedikit tinggi, cave tubing di Kalisuci bisa jadi lebih seru karena arusnya menjadi lebih deras. Bahkan terkadang membuat tubuh kita terlempar keluar dari ban.

Tetapi jika debit air terlalu tinggi, cave tubing di Kalisuci malah memungkinkan tidak dibuka karena dapat membahayakan nyawa pengunjung. Situasi tersebut bisa terjadi saat musim hujan atau saat hulu sungai Kalisuci diguyur hujan lebat. Goa yang tingginya 12 meter akan tertutup semua oleh air.
Di goa kedua, yang menjadi tempat finish. Terdapat sebuah lubang goa besar diatas kepala kita. Masyarakat setempat menyebut lubang goa vertikal dengan sebutan Luweng. Sebelum naik kembali ke darat, pengunjung boleh berfoto dan bermain air sepuasnya disini dikarenakan arus sungainya yang sangat tenang. Para petugas yang menemani pun tak sungkan untuk mengulurkan tangan membantu pengunjung yang ingin berfoto. Mereka pun juga tak segan untuk mengatur pose dan menunjukan spot foto yang bagus.

Sisakan sedikit tenaga setelah selesai sesi foto. Karena untuk keluar menuju sungai dan menuju darat, pengunjung harus menaklukan puluhan anak tangga yang sempit dan curam untuk menuju pos istirahat sebelum dijemput mobil pick up yang akan membawa pengunjung kembali ke titik awal, yaitu pos pendaftaran. Belum lagi kondisi badan yang basah akan membuat langkah menjadi sedikit lebih berat dari biasanya.
Sesampainya di pos pendaftaran, para pengunjung bisa membilas badan di kamar mandi yang tersedia dalam kondisi bersih. Dan sambil menunggu teman mandi, semangkuk mie instan dan teh manis hangat cocok untuk mengisi kembali tenaga yang habis terkuras.

Yang perlu menjadi perhatian bagi yang akan liburan ke Kalisuci, dalam sehari pengunjung yang datang untuk wisata cave tubing di Kalisuci dibatasi hanya untuk 200 orang saja. Peraturan yang dibuat oleh masyarakat setempat selaku pengelola pantas diapresiasi karena terlalu banyaknya pengunjung maka resiko keselamatan yang akan dihadapi juga semakin besar. Dan yang paling penting mereka percaya bahwa alam yang mereka “jual” juga memiliki hak untuk tetap lestari.
Kota Siem Reap yang terletak di negara Kamboja terkenal akan candi-candi peninggalan kerajaan Khmer. Jumlahnya diperkirakan mencapai ribuan yang terkumpul dalam wilayah seluas kurang lebih 400 km2 yang dinamakan komplek Angkor (Angkor Archaelogical Park). Angkor berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Nagara yang berarti Kota. Oleh UNESCO, Angkor dinobatkan sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Site). Dan dianggap sebagai salah satu situs arkeologikal penting di Asia Tenggara.

Saking banyaknya candi yang berada dalam komplek Angkor, diperlukan waktu setidaknya 3 hari untuk wisatawan umum yang hanya tertarik untuk sekedar melihat semua candi yang ada. Sedangkan bagi wisatawan yang memiliki minat dalam bidang sejarah dan arkeologi, diperlukan waktu 7 hari untuk bisa menikmati peninggalan kerajaan Khmer yang terpahat dalam setiap detail batu candi.

Lalu bagaimana jika kita hanya punya waktu 1 hari di Siem Reap? Ini dia 5 candi yang bisa kita nikmati dalam waktu satu hari saja. Tapi sebelumnya, pengunjung harus membeli tiket paket satu hari seharga USD20. Untuk yang paket 3 hari (USD 40) dan 7 hari (USD60) juga tersedia. Dan syaratnya harus digunakan dalam hari yang berurutan sejak tiket dibeli.

Tiket reguler yang telah dibeli tersebut berlaku untuk masuk ke semua candi yang ada di Siem reap kecuali Phnom Kulen, Koh Ker dan Beng Melea yang menetapkan tiket dengan tarif khusus. Saat membeli tiket, petugas di loket akan mengambil foto masing-masing pengunjung untuk dicetak di tiket. Jadi bila membeli tiket untuk rombongan, tiap-tiap pengunjung harus ikut antri di loket. Yang terakhir, simpan tiket baik-baik jangan sampai terlipat atau sobek karena nantinya jadi tidak berlaku. Mau ngga mau, akhirnya harus beli tiket yang baru lagi.

1. Angkor Wat
Inilah candi yang menjadi ikon dari komplek Angkor (Angkor Thom) sekaligus menjadi kebanggaan negara Kamboja seperti tergambar dalam bendera nasionalnya. Candi yang arsitekturnya bergaya klasik Khmer ini menjadi satu-satunya peninggalan kerajaan Khmer yang paling terpelihara dengan baik.

Angkor Wat menjadi lokasi favorit bagi para pengunjung untuk memulai liburan di komplek Angkor dikarenakan pemandangan matahari terbitnya yang sangat spektakuler. Perpaduan sinar matahari pagi yang menimbulkan efek siluet dan danau kecil di depan Angkor wat yang menciptakan refleksi memberikan nuansa magis yang tak boleh dilewatkan.

2. South Gate
Komplek Angkor (Angkor Thom/The Great City) dikelilingi oleh tembok tinggi berbentuk persegi yang dulu digunakan sebagai benteng perlindungan kerajaan Khmer. Sebagai akses utama masuk dan keluar, hanya dibuat 4 pintu gerbang saja yang menghadap ke 4 arah mata angin. Sedangkan 1 pintu gerbang tambahan yang dinamakan “Gate of Victory” dibuat khusus untuk masuk dan keluar ke istana kerajaan.

Dari 4 gerbang yang dibangun sebagai akses keluar masuk komplek Angkor, hanya pintu gerbang Selatan saja yang kondisinya paling utuh. Gerbang selatan ini akan dilewati semua pengunjung yang akan menuju ke Bayon dengan titik berangkat berawal dari Angkor wat.

3. Ta Phrom
Selain dikenal karena kemunculannya di film Tomb Raider pertama yang dibintangi oleh Angeline Jolie, Ta Phrom disukai oleh para pengunjung dikarenakan nuansa mistis yang menyelimutinya. Kesan tersebut terbentuk oleh akar pohon-pohon raksasa yang mencengkeram dinding-dinding Ta Phrom.

Meski akar yang membelit terkesan merusak candi peninggalan raja Jayavarman VII ini, tetapi justru muncul anekdot bahwa sebenarnya tercipta simbiosis mutualisme antara keduanya, “Pohon-pohon tersebut tak akan berdiri dengan tegak sampai saat ini tanpa bantuan dinding-dinding Ta Phrom, demikian pula dinding-dinding Ta Phrom yang usianya sudah ratusan tahun tak akan bisa berdiri tegak secara alami tanpa bantuan akar pohon yang kuat mencengkeram”.

4. Bayon
Kalau Angkor wat dikatakan sebagai peninggalan kerajaan Khmer termegah maka Bayon boleh dibilang sebagai yang paling cantik dan artistik. Ini tak lepas dari penelitian yang menyatakan Bayon sebagai candi yang memiliki paling banyak detail relief. Selain itu sebanyak 216 wajah raksasa yang disusun dari tumpukan bebatuan membuatnya terlihat berbeda dibandingkan candi-candi lain yang ada di komplek Angkor.

Dimana semua wajah tersebut merujuk pada profil raja Jayavarman VII. Sementara teori lainnya mengaitkannya dengan wajah Dewi simbol kasih sayang yaitu Avalokitesvara.

5. Baphuon
Lokasinya yang hanya selemparan batu dari Bayon membuatnya sayang jika tak sekaligus disinggahi. Yang unik dari Baphuon adalah pintu masuknya yang membentang sepanjang 200 meter dan memiliki ketinggian kurang lebih 1 meter dari permukaan tanah. Bagian inti bangunan dari Baphuon merupakan bangunan berundak 3 tingkat.

6.Terrace of Elephants
Seperti namanya, Terrace of Elephants memang sebuah teras. Memiliki panjang 350 meter, dulunya digunakan sebagai tempat Raja Jayavarman VIII untuk melihat pasukannya yang kembali dengan membawa kemenangan dan juga tempat sang Raja untuk melihat berbagai pesta perayaan lainnya.

Gajah sendiri memiliki peranan yang penting pada masa kerajaan Khmer bertahta sehingga binatang berukuran besar ini ikut terukir dalam relief dinding Terrace of Elephants.

7. Phnom Bakheng
Mengakhiri liburan sehari di komplek Angkor? Phnom Bakheng jawabannya. Candi yang terletak di puncak bukit ini jadi favorit para pengunjung untuk mengucapkan “sampai jumpa” kepada sang mentari yang telah menemani sepanjang hari.

Bentuk Phnom Bakheng mirip seperti piramida berundak dengan bagian atas datar seperti terpancung. Di tempat itulah para pengunjung yang sudah rela mengantri demi melihat matahari terbenam akan menanti sang fajar menghilang di kejauhan.

_________________________________________


Jika sudah tahu tempat mana saja yang akan dituju, pertanyaan berikutnya tentu adalah transportasi apa yang bisa digunakan untuk menuju kesana? Cuaca Kamboja yang panas kering memang menjadi tantangan bagi yang tidak suka udara panas. Sehingga menyewa mobil untuk digunakan selama sehari adalah pilihan pertama karena nyaman ber-ac. Tapi konsekuensinya tentu saja harganya lebih mahal.
Alternatif kedua yang lebih murah jatuh kepada Tuk-tuk. Meski tak ber-ac, tetapi cukup sejuk akibat hembusan angin alami. Konsekuensi yang harus dihadapi tentunya adalah debu. Dan bagi yang tak terbiasa naik kendaraan terbuka, masuk angin juga jadi resiko yang harus diperhitungkan. Tuk-tuk di Kamboja berbeda dengan yang ada di Thailand. Tuk-tuk di Kamboja berupa gerobak yang ditarik oleh sepeda motor. Sedangkan Tuk-tuk di Thailand lebih menyerupai Bajaj di Jakarta.

Kedua transportasi tersebut sangat mudah dijumpai di daerah Pub street yang menjadi lokasi menginap favorit para turis selama berlibur di Siem reap. Karena tempatnya yang nyaman, banyak hotel dan tempat makan. Jarak dari Pub street menuju ke Angkor Thom juga tak terlalu jauh. Hanya memakan waktu sekitar 15 – 20 menit saja.
Alternatif transportasi ketiga yang hanya bisa digunakan didalam Angkor Thom yaitu sepeda. Menjelajahi Angkor thom dengan sepeda memang menciptakan pengalaman berpetualang yang unik. Tapi sepertinya hanya bisa dilakukan bagi mereka yang memang liburan panjang di Siem reap. Karena membutuhkan banyak tenaga dan waktu.
Kabupaten Gunung Kidul yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal akan keindahan panorama pantainya. Ombak tinggi dan karang bebatuan berukuran besar menjadi ciri khas pantai-pantai di Gunung Kidul yang terletak di selatan pulau Jawa. Sehingga hanya menyisakan sedikit spot yang dapat digunakan untuk berenang dan bermain-main. Tapi bukan berarti tak asyik, karena pantai-pantai di Gunung kidul justru banyak menawarkan aktivitas seru liburan di pantai tanpa harus bermain air.

Ombak tinggi di pantai selatan memang membuat wisatawan sedikit kurang nyaman. Tapi justru membawa berkah untuk para nelayan disana berupa tangkapan udang Lobster. Salah satu spot yang menjadi lokasi berburu udang Lobster di kabupaten Gunung kidul adalah Pantai Timang. Sebuah pulau karang yang terletak di seberang menjadi tempat favorit para nelayan untuk memancing udang yang harganya ”Wah” di rumah makan Seafood tersebut.
Tapi jarak pulau tersebut bukannya dekat. Mungkin sekitar 50 hingga 100 meter yang dipisahkan oleh ombak tinggi yang seringkali menghempas tembok karang. Suara dentuman ombak yang menabrak karang dan deburannya akan membuat ciut nyali orang awam. Namun karena nilai ekonomis udang Lobster yang tinggi, para nelayan lokal pun membuat sebuah gondola kayu yang digunakan untuk menyeberang ke pulau tersebut.
Bahan-bahan yang digunakan pun sangat sederhana, hanya empat buah velg motor yang digunakan sebagai roda dan beberapa utas tali tambang yang digunakan sebagai lintasan. Prinsip mekanikal kerjanya sangat sederhana. Mirip dengan permainan flying fox. Namun karena (dua) tiang yang menjadi penghubung antar dua pulau tersebut tingginya sama, maka mereka menggunakan tenaga manusia untuk menarik penumpang dalam gondola tersebut.
Dalam satu kali perjalanan, gondola tersebut mampu mengangkut sejumlah 4 (empat) orang dengan tenaga manusia yang digunakan untuk menyeberangkan penumpang mencapai 6-8 orang. Mereka pun saling berganti-gantian antara sesama nelayan untuk menyeberangkan temannya menuju pulau seberang saat akan menangkap udang Lobster.

Melihat para nelayan Lobster menyeberang pulau di pantai Timang tak sedikit yang hanya bisa menahan nafas. Tapi disaat yang sama, mereka yang penasaran ingin mencoba pun juga banyak. Hingga akhirnya di kalangan wisatawan yang gemar memacu adrenalin, gondola pantai Timang mulai menjadi tantangan yang wajib dicoba.

Gayung pun bersambut, para masyarakat lokal pun menyambut antusiasme para wisatawan. Mereka yang berani menyeberang akan dikenakan biaya sebesar 150 ribu per orang. Mungkin buat yang belum pernah kesana dan mencoba akan kaget membaca harganya yang terkesan mahal. Tapi ketika sudah tiba di lokasi, harga tersebut akan terasa wajar. Karena untuk membentangkan tali yang menghubungkan 2 (dua) pulau tersebut para warga setempat harus berenang dan bertarung melawan dashyatnya ombak pantai Selatan.

Dalam musim liburan, per harinya pantai Timang dapat dikunjungi oleh berpuluh-puluh orang yang sangat antusias untuk menyeberang dengan menggunakan gondola kayu. Walau tujuan awalnya memang bukan untuk kegiatan wisata tetapi minat tinggi para wisatawan yang ingin mencoba sudah seharusnya diimbangi dengan fasilitas-fasilitas tambahan. Yang paling penting tentunya asuransi mengingat aktivitas menyeberang dengan gondola di pantai Timang ini memiliki resiko yang sangat besar.

Untuk itu tentunya sangat dibutuhkan kerjasama yang baik antara pemerintah setempat dengan warga lokal untuk mengakomodasi antusiasme pengunjung. Kondisi akses jalan menuju pantai Timang yang masih berupa tanah juga seharusnya mulai menjadi pemikiran pihak-pihak yang berkepentingan mengingat kondisinya belum layak, apalagi di musim hujan. Tetapi kebersihan fasilitas toilet yang disediakan secara swadaya oleh warga setempat patut diapresiasi.

Untuk pengunjung yang memiliki niat untuk berlibur ke pantai Timang tanpa menggunakan mobil, tak jauh dari jalan masuk banyak warga lokal yang bersedia untuk mengantarkan dengan menggunakan sepeda motor. Tetapi bagi yang membawa mobil dapat terus melanjutkan perjalanan hingga terus menuju lokasi pantai Timang. Abaikan saja jika ada pihak-pihak yang berusaha menghentikan mobil di saat akan masuk.
Ketika sampai di pantai Timang, pengunjung dapat membayar jasa menyeberang di sebuah pondok kayu sederhana yang terletak tak jauh dari bibir tebing karang. Tak lama kemudian pengunjung akan diajak untuk naik ke dalam gondola kayu dan menghabiskan waktu selama kurang lebih 3 menit untuk menyeberang. Sangat dianjurkan untuk tidak panik selama menyeberang dikarenakan justru dapat membahayakan keselamatan diri sendiri. Untuk itu lebih baik berteriaklah!

Buat pengunjung yang takut menyeberang, mereka dapat berfoto di panggung-panggung kecil yang dibuat menjorok keluar dari tebing. Ongkos yang dikenakan untuk berfoto di tempat tersebut hanya seharga 5 ribu rupiah saja. Alternatif lainnya, para pengunjung yang tak memiliki nyali besar dapat kembali ke fitrah liburan di pantai yaitu bermain air. Sebuah pantai dengan pasir putih yang terletak tak jauh dari spot gondola kayu menjadi tempat yang cukup nyaman untuk bermain-main. Tapi untuk keseruan yang berbeda di Gunung kidul, menyeberang dengan gondola kayu di pantai Timang memang tak boleh dilewatkan.
Apa kesan orang umumnya saat pertama kali tahu tentang Museum taman prasasti yang terletak di Jalan tanah abang 1, Jakarta pusat? Bisa jadi angker atau aneh, tak salah memang karena koleksi benda-benda yang dimiliki oleh Museum taman prasasti adalah batu nisan dengan jumlah ribuan. Dibilang angker mungkin saja, berhubung museum ini memang berdiri di lahan pemakaman kuno yang dulu namanya Kebon Jahe Kober.

Tak seperti museum lain yang menyimpan benda-benda koleksinya di dalam ruangan. Museum taman prasasti adalah museum terbuka diatas tanah lapang seluas 1,2 hektar. Hanya pepohonan rindang dan semilir angin yang membuat Museum taman prasasti tetap terasa sejuk, hijau namun terasa sunyi dan menakutkan bagi beberapa orang. Tiket masuk yang harus dibayar paling mahal cuma 5 ribu rupiah untuk orang dewasa.

Bagi para pecinta sejarah, tentunya Museum taman prasasti bukanlah tempat yang harus ditakuti. Namun justru seperti potongan waktu yang menghubungkan berbagai macam peristiwa di masa lalu. Mulai dari jaman penjajahan Belanda, Jepang hingga kemerdekaan. Karena di Museum taman prasasti terdapat beragam batu nisan dari berbagai orang-orang kolonialis penting yang pernah singgah di Batavia ataupun daerah lainnya di Indonesia.

Sebelum diresmikan menjadi Museum taman prasasti pada tahun 1977 oleh Gubernur Ali sadikin, lahan ini menjadi tempat pemakaman bagi orang-orang Belanda yang dinamakan Kerkhoflaan. Keberadaan Kerkhoflaan ini juga awalnya tanpa direncanakan. Bermula pada tahun 1795, terdapat wabah misterius yang membuat banyak korban wafat dari pihak Belanda.

Karena banyaknya korban meninggal sementara lahan pemakaman yang berada dalam tembok Batavia (sekitar Kota tua) sudah tak cukup lagi maka dibuatlah lahan pemakaman baru. Sebidang tanah yang berada diluar tembok Batavia namun dekat dengan aliran Kali Krukut ini pun dipilih sebagai tempat pemakaman baru. Adanya Kali krukut dinilai sangat bermanfaat karena dapat digunakan sebagai sarana mengangkut jenasah beserta pengiringnya sebelum dilanjutkan dengan menggunakan kereta kuda.
Pada jaman kolonialisme Belanda, pemakaman yang berada di dalam tembok Batavia berlokasi di dekat Gereja yang sekarang dijadikan sebagai Museum wayang. Namun pada awal abad ke-19, jenasah-jenasah yang berada dalam tembok Batavia mulai dipindahkan ke Kerkhoflaan Kebon jahe kober. Hal ini sesuai dengan perintah Gubernur Daendels yang melarang menguburkan mayat di dekat Gereja ataupun lahan pribadi. Di Museum taman prasasti, dapat ditemukan kode HK (Holandsche Kerk/Gereja Lama Belanda) pada batu nisan yang berarti pindahan dari pemakaman yang berada dekat Gereja Lama di dalam tembok Batavia.

Sampai dengan 2 (dua) tahun sebelum diresmikan menjadi Museum taman prasasti, pemakaman Kebon jahe kober masih aktif digunakan sebagai lahan penguburan. Tetapi dalam selang waktu 2 (dua) tahun sebelum diresmikan, jenasah orang-orang yang ada di pemakaman Kebon jahe kober mulai dipindahkan ke berbagai tempat pemakaman lainnya.
Selain menjadi tempat untuk mempelajari sejarah Batavia dan Indonesia, Museum taman prasasti juga menjadi galeri seni keindahan karya ukiran patung dan nisan dari para seniman batu nisan. Karena pada jaman dahulu, batu nisan dibuat disesuaikan dengan identitas orang yang dimakamkan. Dengan demikian bentuknya bisa bermacam-macam.
Kembali ke judul diatas, Museum taman prasasti yang memiliki lebih dari 1.300 batu nisan menyimpan banyak kijing dari orang-orang penting pada masa Kolonialisme. Beberapa batu nisan yang dapat kita lihat yaitu milik Olivia Marianne Raffles (istri gubernur jendral Thomas Stamford Raffles), Dr. H.F. Roll (pendiri sekolah STOVIA, sekolah kedokteran cikal bakal UI), hingga Soe Hok Gie (aktivis pergerakan mahasiswa tahun 1966).
Diantara batu nisan dari orang-orang Eropa yang ada di Museum taman prasasti terdapat sebuah makam misterius milik Kapitan Jas. Tidak diketahui dengan pasti profil Kapitan Jas tersebut. Dan juga awal mula dari kepercayaan yang timbul bahwa makam milik Kapitan Jas dapat mendatangkan kemakmuran dan kesuburan bagi mereka yang berziarah ke tempat tersebut.
Selain menyimpan benda-benda bersejarah dari kematian tokoh-tokoh penting kaum kolonialis, Museum taman prasasti juga menyimpan 2 (dua) benda penting dari peristiwa wafatnya pendiri bangsa Indonesia, yaitu peti mati yang pernah digunakan untuk membaringkan jenasah Soekarno dan Moh. Hatta. Peti milik kedua Bapak bangsa tersebut disimpan dalam sebuah kotak kaca disertai dengan tulisan singkat saat-saat dimana kedua proklamator tersebut wafat dan dimakamkan.

Mempelajari sejarah terkadang bisa sangat membosankan bila dilakukan di dalam kelas ataupun dengan membaca buku literatur. Namun, Museum taman prasasti mampu menghadirkan cara baru yang unik dan menarik untuk mengetahui sejarah panjang kota Jakarta dan negara Indonesia. Oleh karena itu jangan lupa datang ke Museum taman prasasti yang buka setiap hari Selasa – Minggu mulai dari jam 09.00 – 15.00 ya.
Berkunjung ke kuil saat liburan ke Jepang adalah salah satu kewajiban yang banyak direkomendasikan oleh buku-buku ataupun situs-situs traveling. Selain karena bentuk bangunannya yang unik, pemandangan di kuil-kuil tersebut juga menawarkan sesuatu yang tidak bisa kita jumpai disini. Terutama saat musim dingin, gugur dan semi.

Tetapi yang banyak orang awam belum ketahui bahwa sebenarnya terdapat 2 (dua) jenis kuil di Jepang yang dalam bahasa Indonesia agak sedikit sulit untuk dijelaskan karena sepertinya ada keterbatasan kosakata. Yang pertama Temple atau Kelenteng dan yang kedua Shrine atau Kuil itu sendiri.

Lalu kenapa memangnya harus mengetahui perbedaan antara Temple (Kelenteng) dan Shrine (Kuil)? Ada 2 (dua) alasan juga setidaknya. Yang pertama karena 2 (dua) nama tersebut adalah tempat ibadah untuk 2 (dua) keyakinan yang berbeda, Temple (Kelenteng) untuk agama Budha dan Shrine (Kuil) untuk agama Shinto. Dan yang kedua, dengan mengetahui perbedaannya maka kamu akan lebih bisa maksimal dalam mengeksplorasi.

Shinto dan Budha, dua agama tersebut dianut oleh mayoritas penduduk Jepang. Namun yang berbeda di Jepang, tidak ada larangan atau ketentuan yang mengatur bagi mereka untuk menganut 2 (dua) agama tersebut secara bersamaan. Agak aneh tentunya bagi kita yang tinggal di Indonesia dengan kebebasan tersebut. Tetapi segala sesuatu tentu ada sejarah atau latar belakang yang mendasarinya. Demikian juga apa yang terjadi di Jepang.

Keyakinan Shinto bermula sejak ribuan tahun yang lalu. Saat struktur tatanan masyarakat di Jepang masih dikuasai oleh kaum bangsawan (feodal). Masyarakat yang hidup pada masa tersebut percaya bahwa para Dewa (Kami) tak hanya tinggal di surga saja tetapi juga mendiami bumi.

Masing-masing klan bangsawan mempercayai Dewa-nya masing-masing dan membuat Shrine (kuil) sesuai Dewa yang mereka yakini tersebut. Kemudian dengan perantaraan para dukun dan cenayang mereka berdoa untuk para Dewa-nya.

Awal mula nama Shinto didapat dari pronunsiasi tulisan Cina, Shin Tao. Demikian juga agama Budha, dikenal oleh penduduk Jepang dari Cina. Meski awalnya kurang dapat diterima dengan baik karena bersinggungan dengan keyakinan Shinto tetapi lambat laun agama Budha dapat diterima dan justru melebur dengan Shinto.

Bagi masyarakat Jepang yang memeluk agama Shinto dan Budha secara bersamaan terdapat cara pandang yang berbeda terhadap kedua agama tersebut. Dengan adanya perbedaan tersebut, otomatis mereka pun akan pergi ke Temple (kelenteng) atau Shrine (kuil) sesuai cara pandangnya.

Shinto dianggap sebagai keyakinan yang berkaitan dengan kehidupan duniawi. Mereka pergi ke Shrine atau kuil untuk mengadakan pernikahan ataupun untuk berdoa demi kesuksesan dalam hidup dan bisnis.

Sementara mereka melihat Budha sebagai agama yang berhubungan dengan masalah spiritual. Untuk hal yang berkaitan dengan spiritualitas, mereka datang ke Temple atau kelenteng untuk mengadakan upacara pemakaman atau berdoa bagi para leluhurnya.

Lalu bagaimana cara membedakannya antara Temple (kelenteng) dan Shrine (kuil) supaya tidak salah? Mudahnya, baca saja nama akhiran dari tempat ibadahnya. Jika akhirannya jingu maka dapat dipastikan itu adalah Shrine (kuil). Tetapi jika akhiran namanya ji maka itu adalah Temple (kelenteng).

Secara fisik bangunan, Kelenteng (Temple) dan Kuil (Shrine) juga dapat dibedakan dengan mudah. Berikut ciri-ciri yang bisa dilihat agar tak salah saat berkunjung :

1.Kuil (Shrine)
a). Adanya Torii gate.
b). Ada sepasang singa penjaga di pintu masuk.
c). Ada air suci di pintu masuk untuk membersihkan mulut dan tangan.
d). Warna bangunan dominan oranye.

2. Kelenteng (Temple)
a). Adanya patung Budha.
b). Adanya tempat membakar dupa di pintu masuk.
c). Adanya pagoda.
d). Warna bangunan dominan coklat kayu.

Kalau diperhatikan kembali sebenarnya ada yang salah dengan judul diatas karena hanya dituliskan kuil. Padahal dalam daftar dibawah ini juga ada kelenteng. Tapi tak ada alasan lain koq, cuma untuk lebih mempermudah saja. Untuk itu langsung saja kita review ya.
1. Meiji jingu
Setelah membaca tulisan diatas, kamu pasti bisa langsung menebak. Ya, Meiji jingu adalah tempat ibadah bagi pemeluk agama Shinto. Meiji jingu dibangun sebagai persembahan untuk Kaisar Meiji dan istrinya, permaisuri Shoken. Lokasinya berada di pusat Tokyo dalam sebuah hutan kota yang luasnya 70 hektar, ini menjadikannya sebagai kuil terluas di Tokyo. Meiji jingu hanya berjarak satu menit jalan kaki dari stasiun Harajuku.
2. Senso-ji
Senso-ji adalah kelenteng Budha tertua di Jepang yang berlokasi di distrik Asakusa. Sejarah Senso-ji bermula dari penemuan patung Boddhisattva Kannon (Avalokittesvara) di sungai Sumida yang berada tak jauh dari situ oleh dua orang nelayan bersaudara.

Saat ini Senso-ji mampu menarik minat banyak pengunjung bukan hanya karena arsitektur bangunannya yang unik. Tetapi juga karena keberadaan toko-toko kecil di Nakamise dori (jalan) yang mengarah ke pintu masuk Senso-ji. Senso-ji dapat dengan mudah dicapai melalui stasiun Asakusa.
3. Sengakuji
Sengakuji adalah sebuah kelenteng yang didirikan sebagai tempat untuk mempelajari Budhism. Tetapi bagi orang awam, Sengakuji lebih dikenal karena ceritera “The Ako Insident”nya.

Kalau yang masih bingung dengan “The Ako Insident”, mungkin banyak yang lebih tahu tentang film Hollywood yang dibintangi Keanu reeves berjudul 47 Ronin. Judul film tersebut diangkat dari sebuah legenda nasional bertema loyalitas dan keberanian dari sejumlah pendekar Samurai tak bertuan yang hidup di masa tatanan masyarakat Jepang dikuasai oleh bangsawan.

Masyarakat Jepang biasanya mengadakan perayaan atas keberanian dan loyalitas para Ronin tersebut pada bulan Desember di Sengakuji. Tempat dimana jasad 47 Ronin tersebut disemayamkan. Sengakuji dapat dicapai hanya dengan beberapa langkah melalui stasiun terdekat yaitu Sengakuji station.
4. Nezu shrine
Salah satu ciri kuil di Jepang adalah adanya gerbang Torii yang umumnya berwarna oranye terang . Fushimi inari shrine di Kyoto adalah kuil yang paling terkenal di Jepang dengan ciri khas Torii-nya yang berjajar dengan jumlah puluhan ribu.

Buat yang ke Jepang tapi hanya punya waktu di Tokyo tak perlu berkecil hati. Karena Nezu shrine juga punya Torii yang meski jumlahnya tak sebanyak Fushimi inari shrine tetapi juga tak kalah bagus. Apalagi kalau liburannya di bulan April, saat 3 ribuan bunga Azalea yang mengapit Torii-torii tersebut bermekaran. Inilah yang jadi kelebihan dari Nezu shrine dibanding Fushimi inari shrine.

Stasiun kereta Nezu jadi tempat pemberhentian paling dekat untuk menuju Nezu shrine. Hanya dibutuhkan waktu 5 menit berjalan kaki saja untuk menuju ke tempat tersebut.
5.Zojo-ji
Daya tarik utama Zojo-ji tidak terletak pada bangunan utama kelentengnya. Tetapi pada pintu masuknya yang super besar yang dinamakan Sangedatsumon. Sejak pertama kali didirikan pada tahun 1622, Sangedatsumon telah melewati berbagai macam peristiwa musibah gempa, kebakaran dan perang. Tetapi tetap tegak berdiri sampai dengan saat ini tanpa mengalami kerusakan yang berarti dibanding bagian-bagian bangunan yang lain. Letaknya yang berada dekat dengan Tokyo tower menjadikan Zojo-ji tempat yang wajib dikunjungi. Zojo-ji dapat dicapai dengan mudah melalui stasiun Onarimon ataupun Shibakoen.

Selain kelima kuil tersebut, tentunya masih banyak lagi kuil-kuil di Tokyo yang menarik untuk dikunjungi. Tetapi karena liburan di Jepang juga harus memikirkan banyaknya obyek wisata lain yang tak kalah menarik. Kemudian faktor transportasi yang harus menggunakan kereta plus ditambah jalan kaki. Maka 5 (lima) kuil diatas dapat dipertimbangkan sebagai prioritas.
Previous PostPostingan Lama Beranda